Titik Henti.
Kupikir, Tuhan akan mengetuk perlahan kedua kelopak mataku, lalu menyadarkan dari mimpi yang ketinggian.
Nyatanya, ia mengejutkan dengan sebuah kenyataan, bahwa kebahagiaanku selama ini sedang menikmati bahagianya yang tanpa aku.
Nyatanya, ia mengejutkan dengan sebuah kenyataan, bahwa kebahagiaanku selama ini sedang menikmati bahagianya yang tanpa aku.
Kini, seringkali aku bertanya-tanya, adakah hujan di tempatnya berpijak? Atau di sekeliling terasa seperti musim semi selamanya?
Semisal ada yang menyebut ini cinta, barangkali hatiku langsung menyetujuinya.
Namun akalku, bilang tidak.
Sebab aku pun tahu, jika cinta tak baik kurelakan begitu saja.
Namun akalku, bilang tidak.
Sebab aku pun tahu, jika cinta tak baik kurelakan begitu saja.
Ini sudah bukan tentang musim yang terus berganti.
Ini tentang hati, yang bersikeras masih menanti, meski tak ada yang pasti.
Ini tentang hati, yang bersikeras masih menanti, meski tak ada yang pasti.
Tanda tanya besar menggangu dalam benak, sibuk mempertanyakan nyata atau tidak.
Di satu sisi aku merelakan kebahagiaanmu, namun di sisi lain bertanya-tanya mengapa bukan denganku.
Di satu sisi aku enggan untuk lebih lama menunggu, di sisi lain barangkali masih ada harapan untuk kita bersatu.
Ternyata tak semudah itu menjadi rela, meski untuk melihatmu bahagia.
Di satu sisi aku merelakan kebahagiaanmu, namun di sisi lain bertanya-tanya mengapa bukan denganku.
Di satu sisi aku enggan untuk lebih lama menunggu, di sisi lain barangkali masih ada harapan untuk kita bersatu.
Ternyata tak semudah itu menjadi rela, meski untuk melihatmu bahagia.
Semakin aku merasa ini tak adil, semakin pedih terasa di hati.
Percuma terus begini.
Toh aku di sini, kamu dengannya, kita tak mungkin bersama.
Bakinya kupadami saja segala bara yang masih menyebut namamu tanpa jeda, agar luka ini tak lagi saling menyapa, sebab sepatah kata darimu mampu memanggil jutaan debar di dadaku.
Seperti tahu betul kelemahanku, Tuhan selalu menghadirkan kamu.
Atau mungkin aku yang diam-diam mengantarkan kenangan tentangmu, hingga pada titik yang terdekat. Mengapa kamulah garis akhir dari segala ingatan?
Atau mungkin aku yang diam-diam mengantarkan kenangan tentangmu, hingga pada titik yang terdekat. Mengapa kamulah garis akhir dari segala ingatan?
Rasanya aneh, ketika ingin pergi dari hati yang tak pernah dihuni.
Barangkali sama seperti melepas yang tak ada dalam genggaman.
Rasanya aneh, ketika harus merelakan hati yang tak pernah dimiliki.
Barangkali serupa meninggalkan tempat yang belum sempat kujejaki.
Rasanya aneh, ketika harus terluka sebab sesuatu yang kuanggap cinta, padahal kamu tak pernah menganggap itu ada.
Barangkali serupa menangis tersedu, namun tanpa air mata.
Barangkali sama seperti melepas yang tak ada dalam genggaman.
Rasanya aneh, ketika harus merelakan hati yang tak pernah dimiliki.
Barangkali serupa meninggalkan tempat yang belum sempat kujejaki.
Rasanya aneh, ketika harus terluka sebab sesuatu yang kuanggap cinta, padahal kamu tak pernah menganggap itu ada.
Barangkali serupa menangis tersedu, namun tanpa air mata.
Barangkali serupa aku yang kepadamu, dan titik takdirku yang hanya ingin henti di situ.
Komentar
Posting Komentar